Antara Dian Sastro, Ibu Moor dan Menteri Susi

Numpang lewat... Semoga bisa jadi inspirasi

Tulisan ini adalah buah pikir motivator Indonesia, Rhenald Kasali. Membandingkan 3 wanita hebat yaitu Mooryati Soedibyo (usahawan brand kecantikan terkenal), Dian Sastro (artis), dan Susi Pudjiastuti (menteri wanita pemberani) bukan perkara gampang. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Tapi inti tulisan ini bukan membandingkan untuk menentukan siapa yang "paling hebat" di sini tapi untuk belajar dari mereka, menggali semangat kesuksesan agar bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.

Rezeki pasti dibagi Allah tapi sukses itu diciptakan. 
Rhenald Kasali kebetulan mentor bagi dua orang ini: Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo. Akan tetapi, pada Susi Pudjiastuti yang kini memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rhenald malah merasa justru belajar banyak hal darinya.
Ketiganya perempuan hebat, tetapi selalu diuji oleh sebagian kecil orang yang mengaku pandai. Entah ini stereotyping (pengkategorian yang sangat subjektif) 
baca : jangan mengukur sepatu orang lain di kaki kita.
... Entahlah ! Yang jelas mereka punya "sesuatu" yang berbeda dari sebagian besar wanita di negeri ini. Mari kita kaji satu-satu..


Mooryati Soedibyo
Sewaktu diterima di program doktoral UI yang pernah di pimpin Rhenald Kasali, usianya saat itu sudah 75 tahun. Namun, berbeda dengan mahasiswa lain yang datang pakai jins, dia selalu berkebaya. Anda tentu tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkebaya, bukan?



Mooryati Sudibyo (credit for mooryatisoedibyo.com)
Akan tetapi, ia memiliki hal yang tak dimiliki orang lain: self discipline (kedisiplinan diri). Sampai hari ini, dia adalah satu-satunya mahasiswa Rhenald yang tak pernah absen barang sehari pun. Padahal, saat itu ia salah satu pimpinan MPR.
Memang ia tampak sedikit kewalahan "bersaing" dengan rekan kuliahnya yang jauh lebih muda. Akan tetapi, rekan-rekan kuliahnya mengakui,  kemajuannya cepat. Dari bahasa jamu ke bahasa strategic management dan science yang banyak aturannya.
Teman-teman belajarnya bersaksi: "Pukul 08.00 malam, kami yang memimpin diskusi. Tetapi pukul 24.00, yang muda mulai ngantuk, Ibu Moor yang memimpin. Dia selalu mengingatkan tugas harus selesai, dan tak boleh asal jadi."
Masalahnya, ia pemilik perusahaan besar, dan usianya sudah lanjut. Ada stereotyping dalam kepala sebagian orang. Sosok seperti ini jarang ada yang mau kuliah sungguhan untuk meraih ilmu. Nyatanya, kalangan berduit lebih senang meraih gelar doktor HC (honoris causa) yang jalurnya cukup ringan, gak susah-susah belajar...
Akan tetapi, Mooryati tak memilih jalur itu. Ia ingin melatih kesehatan otaknya, mengambil risiko dan lulus 4 tahun kemudian. Hasil penelitiannya menarik perhatian Richard D’aveni (Tuck School-USA), satu dari 50 guru strategi teratas dunia. Belakangan, ia juga sering diminta memaparkan kajian risetnya di Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman.
Meski diuji di bawah guru besar terkemuka Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti, kadang Rhenald Kasali masih mendengar ucapan-ucapan miring dari orang-orang yang biasa menggunakan kacamata buram dan lidahnya pahit. Ada saja orang yang mengatakan ia "diluluskan" dengan bantuan, "sekolahnya hanya dua tahun", dan seterusnya. Anehnya, kabar itu justru beredar di kalangan perempuan yang tak mau tahu keteladanan yang ia tunjukkan. Kadang ada juga yang merasa lebih tahu dari apa yang sebenarnya terjadi.
Akan tetapi, ada satu hal yang sulit mereka sangkal. Perempuan yang meraih doktor pada usia 79 tahun ini berhasil mewujudkan usahanya menjadi besar tanpa fasilitas. Perusahaannya juga go public. Padahal, yang menjadi dosennya saja belum tentu bisa melakukan hal itu, bahkan membuat publikasi ilmiah internasional saja tidak. Namun, Bu Moor juga berhasil mengangkat reputasi jamu di pentas dunia.

Dian Sastro
Dia juga mahasiswi Rhenald Kasali yang keren dan luar biasa cantik tentunya. Sewaktu diterima di program S-2 UI, banyak juga yang bertanya: apa benar artis mau bersusah payah belajar lagi di UI?
Anak-anak mahasiswa di UI tahu persis bahwa Prof Rhenald Kasali memang cenderung bersahabat, tetapi mereka juga tahu sikapnya: "no bargain on process and quality". (tak ada tawar menawar untuk proses dan kualitas).
Dian, sudah artis, dan sedang hamil pula saat mulai kuliah. Urusannya banyak: keluarga, film, dan seabrek tugas. Namun lagi-lagi, satu hal ini jarang dimiliki yang lain: self discipline, lagi-lagi kedisiplinan diri. Ia tak pernah abai menjalankan tugas.


Sesaat setelah lulus dengan predikat cum laude dari Magister Manajemen UI, ia berbagi pengalaman hidupnya di program S-1 pada kelas yang Rhenald Kasali asuh. Ia mengatakan : "Saat ayah saya meninggal dunia, ibu saya berujar: kamu bukan anak orang kaya. Ibu tak bisa menyekolahkan kalau kamu tidak outstanding," (outsanding = luar biasa).
Ia pun melakukan riset terhadap wanita-wanita terkenal. Di situ ia melihat nama-nama besar yang tak lahir dari kemudahan, yang berusaha menanjak dari bawah. "Saya tidak cantik, dan tak punya apa-apa," ujarnya.
Dengan uang sumbangan dari para pelayat ayahnya, ia belajar di sebuah sekolah kepribadian. Setiap pagi, ia juga melatih disiplin, jogging berkilo-kilometer dari Jatinegara hingga ke Cawang, ikut seni bela diri. "Mungkin kalian tak percaya karena tak pernah menjalaninya," ujarnya.
Itulah mental kejuangan, yang kini disebut ekonom James Heckman sebagai kemampuan nonkognisi. Dian lulus cum laude dari S-2 UI, dari ilmu keuangan pula, yang sarat matematikanya. Padahal, bidang studi S-1 Dian amat berjauhan: filsafat.

Susi Pudjiastuti.
Sekarang kita bahas menteri kelautan dan perikanan yang ramai diolok-olok karena "sekolahnya". Beruntung, banyak juga yang membelanya.
Khusus terhadap Susi, Rhenald bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering di undang Rhenald untuk memberi kuliah. Dia adalah "self driver" sejati, yang bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu? Sadar untuk berhenti sekolah karena merasa lebih bermanfaat berada di luar lingkungan sekolah. Dia bukannya tak pintar justru karena kepintarannya itu dia berani berhenti sekolah dengan sadar..


Ibu Susi (credit for National Kompas)

Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan orangtua yang membiarkan anaknya menjadi "passenger" (penumpang dengan memanjakannya lewat fasilitas), ayah Susi justru marah besar. Pada usia muda, di pesisir selatan yang terik, Susi  memaksa hidup mandiri. Ditemani sopir, ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan udang, dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama bertahun-tahun, seorang diri.
Saat Rhenald mengirim mahasiswa pergi "melihat pasar" ke luar negeri yang terdiri dari tiga orang untuk satu negara, Susi membujuknya agar cukup mengirim satu orang satu negara. Saya menurutinya (kisah mereka bisa dibaca dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor). Kadang kebersamaan menimbulkan ketergantungan  dan 


Dari usaha perikanannya itu, ia jadi mengerti penderitaan yang dialami nelayan. Ia juga belajar seluk-beluk logistik ikan, menjadi pengekspor, sampai terbentuk keinginan memiliki pesawat agar ikan tangkapan nelayan bisa diekspor dalam bentuk hidup, yang nilainya lebih tinggi. Dari ikan, jadilah bisnis carter pesawat, yang di bawahnya ada tempat penyimpanan untuk membawa ikan segar.
Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.
Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang  produktif. 

Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif.
baca : tak ada yang kebetulan di dunia ini.

Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah, dan stereotyping (pengkotak-kotakan). Akan tetapi, saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.(baca : membunuh kesombongan)
Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa yang kita ucapkan dalam keseharian kita juga akan membentuk mereka, dan masa depan mereka.

Wallahu alam...

Comments

Popular posts from this blog

Ada Yang Salah di Otak Kita, Makanya Rezeki Kita Hanya Seuprit.

Menarik Rezeki dengan Asmaul Husna (5)

Bolehkah Menolak Rezeki?