Tak Ada Kata Pensiun Menjadi Orang Tua
Kisah Seorang Anak.
Anak adalah rezeki, kisah ini mudah-mudahan bisa memberi pelajaran bagi orang tua.
Seorang anak, menelepon ayahnya yang telah berpisah dan tinggal di rumah yang berbeda dengan dirinya dan ibunya.
Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantar anaknya ke sekolah seperti biasanya.
Jarak sekolahnya lumayan jauh, sekitar 1 km dari rumahnya dan si anak bertubuh lemah dan ringkih.
Pagi itu jam 6:00 seperti biasa si anak bersiap siap kemudian menelepon ayahnya:
Seorang anak, menelepon ayahnya yang telah berpisah dan tinggal di rumah yang berbeda dengan dirinya dan ibunya.
Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantar anaknya ke sekolah seperti biasanya.
Jarak sekolahnya lumayan jauh, sekitar 1 km dari rumahnya dan si anak bertubuh lemah dan ringkih.
Pagi itu jam 6:00 seperti biasa si anak bersiap siap kemudian menelepon ayahnya:
Anak: Ayah, bisa antarkan aku sekolah?
Ayah: Ibumu kemana?
Anak: Ibu sakit ayah, tidak bisa mengantarkan aku ke sekolah, kali ini ayah bisa antarkan aku ke sekolah kan?
Ayah: Ayah tidak bisa, ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik Angkot saja atau ojek
Anak: Ayah, uang ibu hanya tinggal 10 ribu saja itupun mau dipake beli obat karena ibu sakit, kami pun belum makan dari pagi, tak ada apa apa dirumah, kalau aku pakai untuk ongkos, bagaimana adik dan ibu nanti ayah?
Ayah: Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah, ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu anak laki laki harus kuat.
Anak: Ya sudah, terima kasih ayah.
Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar, ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar, ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.
Ibu: Apa kata ayahmu nak?
Anak: Kata ayah, ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.
Ibu: Baguslah nak, sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kau ke sekolah.
Anak: Ibu tenang saja, ayah yang akan antar, ayah bilang aku tunggu didepan gang supaya cepat ibu.
Ibu: Berangkatlah nak, belajar yang rajin dan semangat.
Anak: Baik ibu
Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam dalam di ingatan si anak.
Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan support dari beasiswa.
Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar.
Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik adiknya sampai sarjana.
Satu hari, saat di kantor ayahnya bertelepon.
Anak: Ada apa ayah?
Ayah: Nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah kerumah sakit
Anak: Memang istri ayah kemana?
Ayah: Sudah pergi nak sejak ayah sakit sakitan.
Anak: Ayah, aku sedang kerja, ayah kerumah sakit pakai taxi saja.
Ayah: Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan urus pendaftaran di RS dan lain-lain administrasinya? Apakah supir taxi? Kamu anak ayah, masa orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?
Anak: Ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku, mengurus diri sendiri? Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak ? Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelpon ayah minta antarkan ke sekolahku, waktu itu ibu sakit, ibu yang selalu antarkan kami anak-anaknya..yang mengurus kami seorang diri, namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki laki harus kuat, dan ayah katakan ayahpun dulu berjalan kaki ke sekolah, maka aku belajar bahwa karena ayah lakukan demikian maka akupun harus lakukan hal yang sama..saat aku sakitpun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata kata ayah, anak laki laki harus kuat.
Ayah tau? Hari itu pertama kali aku berbohong pada ibu, aku katakan ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang.
Tapi ayah tau? Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa tau kalau aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.
Tapi ayah tau? Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa tau kalau aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.
Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku lemah aku harus bisa.
Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa.
Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa.
Si ayah terdiam..sepi di seberang telepon.
Baru disadarinya betapa dalam luka yang di torehkannya di hati anaknya.
Anak adalah didikan orangtua. Anak tak berutang pada kita, orang tuanya.
Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka, sama saja kita sedang mengajarkan mereka bagaimana memperlakukan kita kelak ketika kita tua dan renta.
Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka, sama saja kita sedang mengajarkan mereka bagaimana memperlakukan kita kelak ketika kita tua dan renta.
Si anak berdosa?
Mungkin....
Si anak durhaka?
Barangkali....
Mungkin....
Si anak durhaka?
Barangkali....
Yang jelas ayahnya yang membuat anaknya demikian. (baca : ciri ortu yang rezekinya susah)
Dan kelak orangtua membuat pertanggung jawabannya masing-masing kepada sang KhaliK, Si Empunya Anugerah yang di titipkan kepada kita.
Ingatlah...
Dan kelak orangtua membuat pertanggung jawabannya masing-masing kepada sang KhaliK, Si Empunya Anugerah yang di titipkan kepada kita.
Ingatlah...
Menjadi orangtua bukan karena menanamkan benih atau karena melahirkan.
Menjadi orangtua, karena mengasuh, mendidik, menyayangi, memberi waktu, perhatian, mengayomi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang.
Menjadi orangtua, tidak ada kata pensiun..
Finishnya hanya di kematian.
Finishnya hanya di kematian.
Wallahu alam..
Comments
Post a Comment