Haruskah Mencium Hajar Aswad?

Gak perlu maksa mencium Hajar Aswad  

Berbicara soal hajar aswad saya jadi teringat perjalanan umroh saya tahun 2015 silam. Saat itu saya diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadah umroh bersama suami dan kedua orang tua saya, yaitu ibu dan almarhum bapak saya.
(baca : 8 cara mudah menarik rezeki umrah dan haji)
Selama kurang lebih 9 hari kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan ibadah dan ritual umroh, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Setiap kali berada di depan kabah hati saya selalu trenyuh penuh rasa haru. 
Dan setiap kali berada di sana selalu terlihat jamaah yang menyesaki sebuah sudut dari Kabah di mana hajar aswad berada, berebut untuk mendekati, memegang dan menciumnya. Tadinya saya tak berminat untuk melakukannya karena persaingan yang sangat ketat di sana, bahkan seolah-olah kita harus ngotot dan main keras untuk menggapainya. Tapi suami saya yang sudah berhasil melakukannya lebih dulu kemudian menawari untuk menemani saya mencapai sudut itu.


Karena penasaran dengan sebentuk batu yang menjadi fokus para jamaah umroh itupun saya setuju. Akhirnya saya berhasil mencium hajar aswad setelah melalui perjuangan yang keras, desak-desakan dan saling dorong dengan perlindungan dari suami. Sebuah batu hitam yang konon dibawa dari surga dan memiliki nilai histori yang besar ini berhasil saya cium, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya.

Tapi haruskah mencium hajar aswad?
Ini ada kisah jamaah umroh lainnya yang mungkin bisa jadi masukan.
Setelah menyelesaikan thawaf, saya mencari tempat lowong untuk memanjatkan doa di depan kabah.


Seketika seorang lelaki berkulit hitam legam yang saya perkiraan datang dari benua afrika langsung mengambil tempat di samping kanan saya.
Seperti kebanyakan orang saya pun menilai jamaah hitam ini sebagai orang yang kasar dan tak berpendidikan.
Lalu seperti kebiasaan di masjid di Indonesia, ketika duduk bersebelahan dalam satu shaf, saya menyalami jamaah kiri dan kanan saya, termasuk si Afrika.
Tiba-tiba ia bertanya negara asal saya dengan bahasa Inggris yang sangat fasih. "I am from Nigeria, where are you from?" Katanya dengan sopan. Saya jawab kalo saya berasal dari Indonesia.
"Kenapa orang Indonesia suka sekali berusaha mencium batu hajar aswad"?, tanyanya memulai percakapan. Ternyata si Nigeria ini memperhatikan tingkah laku jamaah kita di sana, karena memang jumlah kita yang sangat banyak dan suka bergerombol sehingga menarik perhatian.
"Mungkin karena cinta. Kabah adalah rumah Tuhan, dan hajar aswad adalah batu yang pernah dicium Rasulullah. Maka mencium hajar aswad adalah refleksi cinta orang Indonesia terhadap Tuhan dan Rasulnya", jawab saya sekenanya.
"Apakah orang Indonesia juga bertingkah laku seperti itu terhadap cinta Allah SWT yang dianugerahkan kepada mereka?", Tanya dia lagi.
"Maksud anda? Kata saya tak paham. "Cinta Allah SWT seperti apa yang dianugerahkan kepada kami"?, Jawab saya dengan ekspresi bingung.
Lalu Si Nigeria menjawab, "Jika Allah Taala menganugerahkan kalian istri, anak-anak dan orang tua yang masih hidup, itulah wujud cinta Allah kepada kalian."
"Pertanyaan saya", katanya melanjutkan.
"Apakah orang-orang Indonesia, berusaha dengan keras dan gigih mencurahkan kasih sayang terhadap anak, istri dan orang tua mereka yang masih hidup yang diamanahkan Allah Taala sebagaimana mereka berusaha mencium hajar aswad, "? Ujarnya.
"Jika terhadap batu saja refleksi cinta kalian begitu dahsyat, lebih lagi terhadap makhluk Allah yang telah diamanahkan kepada kalian"?, tegasnya lagi.
Saya tercekat, hilang akal dan tak mampu berkata lagi. Terus terang hal itu tak pernah terpikirkan oleh saya.
Kemudian ia bercerita bahwa ia menyelesaikan S3 (PhD)-nya di AS namun memilih pulang ke Nigeria demi membesarkan anak-anaknya yang 6 orang agar mampu menjadi muslim yang baik.
Maka hilang semualah persangkaan saya terhadap orang ini. ALLAH membayarnya langsung tunai saat itu juga.
Setelah shalat subuh, sebelum berpisah ia memberi nasehat yang sampai saat ini masih teringat di kepala saya.

Keberhasilan haji dan umrah kita, mabrur atau tidaknya dinilai bukan pada saat kita menyelesaikan ritual-ritual haji dan umrah seperti tawaf, sai atau bahkan mencium hajar aswad, namun dinilai pada saat kita kembali.
Apakah kita mampu menunaikan amanah-amanah, anugerah-anugerah, kasih sayang Allah Taala  dengan bersungguh-sungguh, bersusah payah, mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang kita cintai, pekerjaan dan masyarakat?
Saya genggam tangannya, saya memeluknya dan menyampaikan terima kasih.
Saat dia pergi diantara kerumunan orang, saya faham, inilah cara Allah Taala menegur saya dan menyampaikan makna mencium hajar aswad.
Oleh karena itu mari kita bersama belajar untuk menjadikan orang tua kita, istri, anak-anak, saudara-saudara serta masyarakat di sekitar kita sebagai ladang amal ibadah kita.... Dan bukan merupakan sumber gosip atau ladang dosa-dosa kita...
Pengingat untuk diri saya yang lemah dan masih banyak kekurangan..


Wallahu alam..

Comments

Popular posts from this blog

Ada Yang Salah di Otak Kita, Makanya Rezeki Kita Hanya Seuprit.

Menarik Rezeki dengan Asmaul Husna (5)

Bolehkah Menolak Rezeki?