Ada yang Salah Dengan Pendidikan Kita

Pendidikan Yang Menghukum

Tulisan ini diilhami dari pengalaman Rhenald Kasali tentang perbandingan pendidikan di negara maju seperti Amerika Serikat dengan di negara kita. Saya juga pernah menuliskan topik yang serupa tapi kisah berbeda di hidup bukan melulu soal menang kalah.
Berikut ini kisahnya..
Beberapa waktu lalu waktu masih tinggal di AS Rhenald mengajukan protes pada guru anaknya. Masalahnya sepele saja, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anaknya yang boleh dibilang seadanya itu telah diberi nilai E [Excellence] yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal, si anak ini baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Wajarsaja jika karangannya ala kadarnya dan minim kata.


Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu ditunjukkan pada ayahnya dan sebagai seorang penulis yang mempunyai jam terbang banyak mulailah dia mencemaskan kemampuan verbal anaknya yang sangat terbatas. Menurut ayahnya, tulisan itu sangat buruk. Logikanya sangat sederhana, layaknya logika anak seusianya. Rhenald meminta sang anak untuk memperbaiki kembali karangan itu sampai akhirnya dia menyerah.
Gak sanggup meneruskannya.

Ternyata karangan itulah yang diaserahkan pada gurunya. Yang membuat surprise karangan yang ala kadarnya itu bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa gak salah memberi nilai? Bukankah guru harus objektif melakukan penilaian? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, anak-anak gak bakalan tau mana yang karangan yang benar dan bisa jadi anak-anak gak sadar kesalahannya malah bisa cepat puas diri.
Dan tahukah anda apa reaksi gurunya waktu Rhenald melayangkan protes..?
Dia malah nanya begini...
Excuse me sir, could you tell me where you from? (Maaf, Bapak dari mana?)". Dan Rhenald pun tersenyum sambil berkata, I am from Indonesia (Saya dari Indonesia,”. Dan tampak senyum lebar di wajahnya...
Dan mulai menjelaskan panjang lebar alasannya memberi nilai E buat karangan yang boleh dibilang sampah.. Dia ingin menjadikannya yang terbaik dengan membaikkan hidupnya..
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup Rhenald Kasali. Itulah saat yang mengubah caranya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
I see (Saya mengerti)” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini dan saya mendapatkan satu kesan kalo di negeri anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan utk merangsang anak agar maju. Encouragement!”, Kata gurunya dengan mimik serius.
Saya sudah mengajar selama 20 tahun. Setiap murid memiliki karakter yang berbeda. Namun untuk anak seumuran itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak Rhenald.

Sepulang dari sekolah dia mulai berpikir apa yang dikatakan guru anaknya tadi. Dari diskusi itu dia mendapat pelajaran berharga kalo kita gak bisa mengukur prestasi org lain menurut ukuran kita.
Rhenald teringat betapa mudahnya ia menyelesaikan studi yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor di luar negeri.
Sementara di Indonesia, dia harus berjuang menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop-out dan para penguji yang galaknya minta ampun, setiap saat siap menerkam.
Sementara, saat menempuh ujian program doktor di luar negeri, semua dilewatinya dengan mudah. Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuatnya harus benar-benar menguasai disertasi yang ditulisnya. Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.

Seorg penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik serta tabel dibuatnya serta menerangkan sejelas-jelasnya sehingga dia dan penguji lain makin mengerti.
Ujian dipenuhi puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan dengan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Indonesia, banyak hal sebaliknya sering dia saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian, layaknya pesakitan yang menunggu vonis penjara...
Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan. Tapi yang sering terjadi di Indonesia malah sebaliknya, mungkin ada juga penguji yang baik tapi kita bicara soal "pada umumnya" dan pengalaman subjektif yang dialami penulisnya. (Hmmm...Saya ingat saya mengalami sindrom yang sama juga waktu kuliah S1 dulu...merasa gagal dan gak berguna....)
(baca : gak ada manusia yang gagal dan tak berguna)

Anyway kita lanjut soal ini...soal saya itu kisah yang berbeda....
Rhenald sempat mengalami rasa frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hematnya sangat gak manusiawi.
Mereka bukannya melakukan "encouragement"(menyemangati), melainkan "discouragement"(melemahkan semangat). Hasilnyapun bisa diduga, nilai kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat betul. Ukurannya sangat rata-rata dan biasa.
Ternyata belakangan dia temukan juga penguji cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan. Dia ingat betul bagaimana guru di AS memajukan anak didiknya. Lantas dia berpikir, pantaslah murid-murid di sana mampu menjadi penulis karya ilmiah yang hebat, bahkan menerima hadiah Nobel. Bukan karena punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter hasil didikan guru-gurunyanya yang sangat kuat: yaitu karakter yang membangun, bukan merusak.
(psst...saya menulis tentang seorang guru yang luar biasa di artikel lalu di sini)

Kembali ke pengalaman dengan sang guru Amerika, dia mengingatkan Rhenald... “Jangan mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan orang dewasa yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Rhenald pun teringat rapor anak-anak di AS yg ditulis dalam bentuk verbal.
Misalnya, anak- anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tdk diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Tina telah memulainya dengan berat dan dia mencobanya dengan sungguh-sungguh, namun Tina telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Sedikit intermezzo, saya pun mengalami hal yang sama waktu tahun 2014 yang lalu tinggal di Kyoto Jepang dan kedua putri saya sekolah SD Negeri di sana (kelas 2 dan kelas 4 SD). Mereka tak bisa berbahasa Jepang sama sekali dan saat kenaikan kelas tiba yaitu 3 bulan berikutnya setelah kami tiba, saya berpikir bahwa mereka gak akan naik kelas...Tapi yang terjadi adalah mereka berdua naik kelas (karena di Jepang tidak ada istilah tinggal kelas) dan mereka berdua hanya dinilai berdasarkan mata pelajaran yang mereka mampu, seperti seni, musik, olahraga, matematika, prakarya... Isn't that great??



Lanjut ke cerita Rhenald..
Malam itu, diapun mendatangi anaknya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Dia ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah karena telah memberinya penilaian yang tidak objektif.
Sang anak protes saat Rhenald tidak menerima nilai E yg berarti excellent (sempurna) untuknya dan mengatakan bahwa “gurunya salah”. Kini, Rhenald mampu melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Bisakah kita mencetak generasi hebat dengan cara menciptakan rasa takut? Apakah itu yang terjadi sekarang ini, di mana negara kita adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tapi masih terseok-seok menuju masyarakat adil dan makmur yang dicita-citakan. Mengapa negara kita tak kunjung maju sementara kekayaan alamnya melimpah??
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman : rotan pemukul, dilempar kapur atau penghapus oleh guru, sering disetrap, dan berdiri di depan kelas.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata ancaman : Awas…; Kalau…; Nanti…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah membuat kita tidak nyaman meski tujuannya untuk membuat kita lebih disiplin. Namun, juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidaklah statis, melainkan dapat mengerucut [mengecil] atau sebaliknya, dapat tumbuh, tergantung dari atau dukungan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, kecerdasan manusia dapat tumbuh, tetapi sebaliknya juga dapat menurun.
Ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang “tambah pintar” dan ada pula orang yang “tambah bodoh”. Mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah anak Indonesia untuk maju.

Tulisan ini bukan untuk menjelekkan pendidikan di negara kita dan memuja muji pendidikan di luar negeri. Wallahi, bukan itu tujuan saya. Tulisan ini hanya sekedar sharing pengalaman untuk membantu mengetahui tentang makna mendidik yang sesungguhnya yaitu untuk merangsang anak agar maju, membantu menemukan potensi terbaik mereka dan mengembangkannya, menjadikan anak berbudi pekerti yang baik. Sehingga akhirnya anak menjadi rezeki bagi siapa saja plus soleh / solehah.. bisa terwujud.

Wallahu alam..

Comments

Popular posts from this blog

Ada Yang Salah di Otak Kita, Makanya Rezeki Kita Hanya Seuprit.

Menarik Rezeki dengan Asmaul Husna (5)

Bolehkah Menolak Rezeki?